Asal Usul Pulau Sangkar

Pada zaman dahulu kala, di sebuah desa kecil yang tenang di Riau, hiduplah seorang pria kaya raya namun dibenci bernama Pendekar Katung. Walau hartanya melimpah, sifatnya jauh dari terpuji. Ia dikenal kejam dan pemarah, dan para penduduk desa sering berbisik tentang kekejamannya di balik pintu tertutup. Saat berjudi dan keberuntungan tidak berpihak padanya, ia akan memerintahkan para pengawalnya untuk menyerang lawan-lawannya dalam amarah yang meluap.

Salah satu hiburan favorit Pendekar Katung adalah sabung ayam. Di antara harta kesayangannya, ada seekor ayam jago tangguh yang belum pernah terkalahkan. Banyak yang mencoba mengalahkannya di arena, namun semuanya gagal. Pada suatu hari yang menentukan, Pendekar Katung mengajukan tantangan kepada Datu Buta, seorang pria sederhana tetapi memiliki keberanian besar. Datu Buta dikenal karena kecerdikannya dan sikapnya yang adil, sehingga ia menerima tantangan itu tanpa ragu.

Saat matahari mulai terbit, warga desa berkumpul di sekitar arena sabung ayam. Suasana tegang terasa saat Pendekar Katung dan Datu Buta memperkenalkan ayam jago mereka, dan pertarungan pun dimulai. Awalnya, kedua ayam menunjukkan kekuatan dan kelincahan yang seimbang. Namun, seiring berjalannya waktu, ayam Pendekar Katung mulai kehilangan tenaganya. Akhirnya, dengan serangan terakhir, ayam milik Datu Buta keluar sebagai pemenang, membuat semua orang takjub.

Pendekar Katung yang marah besar dan merasa dipermalukan menuduh Datu Buta curang. Walau Datu Buta sudah menjelaskan bahwa dia tidak berbuat curang, namun Pendekar Katung tetap tidak menerima kekalahan itu. Pendekar Katung pun menyuruh pengawalnya untuk menangkap Datu Buta.

Datu Buta berusaha melawan dengan segala kemampuan, tetapi jumlah lawannya terlalu banyak. Akhirnya, dia terpaksa menyerah. Keadaan semakin parah saat Pendekar Katung yang dipenuhi dendam menculik putri Datu Buta, Intan Suri.

Minggu-minggu berlalu, dan desa hidup dalam ketakutan akibat tirani Pendekar Katung. Suatu hari, seorang pemuda pengembara bernama Bujang Kelana tiba di desa tersebut. Saat beristirahat di bawah pohon besar dekat rumah Pendekar Katung, ia melihat seorang wanita muda di jendela, wajahnya dipenuhi kesedihan. Tertarik, ia mendekatinya.

Wanita muda itu, yang tidak lain adalah Intan Suri, menceritakan nasibnya. Tersentuh oleh ceritanya, Bujang Kelana bertekad untuk menyelamatkannya. Pada malam hari, ia menyelinap ke rumah Pendekar Katung. Para penjaga yang tidak siap segera menyerangnya, namun keterampilan bela diri Bujang Kelana tidak tertandingi. Satu per satu, para penjaga tumbang, dan ia berhasil membebaskan Intan Suri dari penahanannya. Bersama-sama, mereka melarikan diri dan kembali ke rumah ayahnya.

Datu Buta sangat gembira melihat putrinya kembali, dan Intan Suri serta Bujang Kelana, yang semakin dekat selama pelarian mereka, merasakan cinta yang mendalam satu sama lain. Namun, kebahagiaan mereka tidak berlangsung lama.

Tersulut oleh kehilangan tawanan, Pendekar Katung mengumpulkan pasukan dan berbaris menuju rumah Datu Buta. Pertempuran sengit pun terjadi, dengan Bujang Kelana bertempur dengan gagah berani melawan jumlah lawan yang jauh lebih banyak. Melawan segala harapan, ia berhasil membalikkan keadaan dan mengalahkan pasukan Pendekar Katung.

Namun, dalam kekacauan tersebut, tragedi menimpa. Intan Suri terluka parah oleh salah satu penjaga Pendekar Katung. Walau upaya mereka untuk menyelamatkannya tidak henti, akhirnya ia tidak tertolong dan meninggal dunia.

Hancur hati, Bujang Kelana tidak sanggup lagi tinggal di desa yang telah memberikan cinta dan kehilangan padanya. Dalam momen kedukaan, ia mengambil sebuah kandang ayam kecil dari rumah Datu Buta dan melemparkannya ke laut.

Dengan takjub, para penduduk desa menyaksikan bagaimana kandang ayam itu mulai berubah. Perlahan tapi pasti, ia tumbuh, tepinya melebar hingga akhirnya menjadi sebuah pulau. Para penduduk desa menamainya Pulau Sangkar Ayam atau Pulau Kandang Ayam sebagai pengingat akan peristiwa luar biasa yang telah terjadi.

Hingga kini, legenda itu terus hidup, dibisikan di antara para penduduk desa di Riau. Cerita itu menjadi kisah tentang keberanian, cinta, dan bekas luka yang terus ada akibat kehilangan, yang terpatri di tanah itu sendiri.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *